
Tidaklah
mudah memang menjadi seorang guru yang ideal dan professional. Berdasarkan UU
No 14 tahun 2005 pasal 20, maka guru berkewajiban untuk: a. Merencanakan
pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi
hasil pembelajaran, b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan
kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu atau
latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam
pembelajaran d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,hukum dan kode
etik guru serta nilai-nilai agama dan etika e. Memelihara dan memupuk persatuan
dan kesatuan bangsa. Dibutuhkan komitmen, konsistensi dan ketahanan mental yang
betul-betul menjadi motif terpenting untuk menjadi seorang guru, mengingat
tugas dan kewajibannya yang luar biasa bobot kerjanyanya.
Kita
sadar sepenuhnya, bahwa saat ini, gurulah satu-satunya agen perubahan yang
memiliki tugas baik secara institusional
maupun non-institusional. Gurulah yang setiap hari mengajarkan norma, moral,
etika, pembiasaan karakter positif serta warisan budaya yang lintas generasi. Kita
sangat sadar sepenuhnya, bahwa sendi-sendi yang menopang sebuah bangsa
diantaranya adalah berupa karakter dan
mentalitas rakyatnya, hal tersebut menjadi pondasi yang kukuh dari tata nilai
bangsa tersebut. Keruntuhan sebuah bangsa ditandai dengan semakin lunturnya
tata nilai dan karakter bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa tersebut
masih berdiri tegak. Karakter dan mentalitas rakyat yang kukuh dari suatu
bangsa tidak terbentuk secara alami, melainkan melalui interaksi sosial yang
dinamis dan serangkaian program pembangunan yang diarahkan oleh pemimpin bangsa
tersebut (Sauri, 2010). Dalam konteks
inilah maka komitmen guru untuk melakukan perubahan yang cepat atau revolusi
mental sangat penting.
Menurut
Nias (1981, 1989) komitmen gurulah yang membedakan guru yang peduli,
berdedikasi, dan melaksanakan pekerjaannya dengan serius dibandingkan dengan
mereka yang menjadi guru sebatas karena ketertarikan dan tidak memahami
filosofi menjadi seorang guru. Lebih teoritisnya Coladrci (1992) mendefinisikan
komitmen mengajar (commitment to teaching) sebagai teacher's psychological attachment to the teaching profession.
Tegasnya, pelibatan diri secara psikologis dalam profesi mengajar. Guru tidak
hanya mengajar atau mendidik di sekolah saja, tetapi di luar sekolah juga
mereka aktif dalam kegiatan edukasi sosial secara informal di masyarakatnya.
Ketika guru tidak komitmen dalam profesi mengajarnya, maka mereka akan
meninggalkan pekerjaannya lebih awal. Kalaupun tidak meninggalkan profesi guru,
maka profesi guru hanya akan dijadikan profesi alternatif, bukan yang utama.
Padahal sejatinya berprofesi sebagai guru harus betul-betul all out dan tidak bisa setengah-setengah. Terlepas dari besar kecilnya kesejahteraan
yang didapat. Inilah yang membedakan profesi guru dengan profesi lainnya,
karena menjadi guru lahir dari sebuah niat yang didasari panggilan jiwa akan
kemanusiaan (call for humanities),
bukan karena motif utamanya materi atau kekayaan (wealth). Itulah mengapa guru sebagai pekerjaan profesional berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 bab III pasal 7 menjelaskan
bahwa guru harus memiliki bakat, minat,
panggilan jiwa dan idealisme.
“
Mari kita menjadi guru yang cerdas agar bisa digugu lan ditiru ”
Mantap pak de
BalasHapus