Senin, 02 Mei 2016

#SAVE GURU HONORER # SISIHKAN 10% TUNJANGAN PROFESI UNTUK GURU HONORER

Kita mengenal profesi seorang guru adalah profesi yang sangat mulia. Tidak ada profesi yang dapat menyaingi kemuliaan profesi seorang guru, karena di atas pundaknya ia diserahi tugas untuk mendidik dan mengajar para murid-muridnya menjadi manusia yang berilmu dan ditangan seorang guru itu pula si siswa akan mendapat pendidikan nilai-nilai kehidupan dan menjadikannya seseorang menjadi manusia yang mempunyai jiwa dan kepribadian yang luhur, bertanggung jawab, menghargai sesamanya, mensyukuri ni’mat yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. Ditangan seorang guru yang baik dan bermutu, maka akan melahirkan generasi bangsa yang unggul dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain didunia, tidak akan menjadi bangsa yang terbelakang, apalagi menjadi bangsa budak yang hanya dijadikan sapi perahan oleh bangsa lain.

Demikian pentingnya kedudukan tugas dan tanggung jawab guru, oleh sebab itu Pemerintah Indonesia dari zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Megawati, Gus Dur, SBY, sampai dengan masa pemerintahan presiden ke 7 Jokowidodo, selalu berjanji akan memperhatikan nasib guru. Semua guru apapun statusnya, kesejahteraannya harus ditingkatkan  diberikan dengan wajar sesuai dengan kedudukan, tugas dan tanggung jawabnya yang berat itu. Akan tetapi yang ditunggu-tunggu dari realisasi janji-janji yang pernah dikeluarkan pemerintah, tidak pernah terwujud. Bila ditagih mudah saja mereka para pejabat di negeri ini mengelak diri, seribu kali janji seribu kali pula para petinggi negeri, mengingkari. Apalagi nasib Guru honorer semakin kabur, jauh semakin terkubur. Harapan menjadi pegawai negeri hanya bermimpi.
Memang pada awal pemerintahan Jokowi sudah memberikan janji, termasuk yang dikeluarkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi, mengangkat guru honorer menjadi pegawai negeri harus segera terealisasi. Tetapi langkah itu cuma upaya semu memenuhi janji. Apakah sepanjang tahun para guru honorer hanya mengharapkan nasib baik turun dari langit, entah siapa lagi nanti Presidennya yang hanya pandai pura-pura menampilkan keberaniannya memperjuangkan nasib guru. Akhirnya mereka berdemo, walaupun harus mengorbankan aktifitas belajar mengajar untuk anak didiknya dikelas. Ribuan guru honorer itu menuntut perhatian pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan agar memperhatikan nasib mereka si penyandang pahlawan tanpa tanda jasa itu. Pemerintah sepertinya kehilangan akal, jeblok pikiran atau memang tidak serius. Niat baik tidak cukup hanya dengan berani mengeluarkan PP Nomor 48 Th 2005. Kalau hanya untuk pajangan, sebagai pantes-pantes apalah artinya. Kalaupun ada rekruitmen PNS dari guru honorer, di lapangan dipenuhi dengan ribuan praktek rekayasa, korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang sudah puluhan tahun bahkan tidak sedikit masa pengabdiannya yang sudah 20 tahun sebagai guru honorer gagal menjadi PNS, tetapi yang baru kemarin sore bisa diangkat menjadi PNS dengan sejumlah uang.....! Para guru di negeri ini memang banyak tertipu dan dikebiri. Pengabdian seorang Guru honorer hanya dihargai jauh dibawah UMR, dalam perjalanannya sudah jatuh tertimpa tangga. Namun dalam kondisi hidup yang serba terjebit, dengan imbalan gaji yang sangat kecil ternyata para guru honorer masih tetap bersemangat bertahan mengajar. Dari pengalaman saya sebagai salah seorang yang pernah mengajar sebagai guru honorer di sebuah Sekolah Dasar Negeri, dapat saya ungkapkan sebab apa para bapak/ibu guru honorer tetap bertahan menjadi guru walaupun hanya dibayar uang seadanya dan jauh dibawah UMR.
Keadaan guru honorer tersebut berbanding terbalik dengan guru PNS apalagi yang sudah mendapatkan tunjangan profesi guru. Mulai tahun 2016 ini, seorang guru yang sudah menyandang status “ professional “ akan mendapatkan gaji sebanyak 26 kali dalam setahun. Yaitu gaji 12 kali/bulan, gaji 13, gaji 14 dan 12 kali / bulan tunjangan profesi. Hal itu membuat kasta-kasta sendiri di lingkungan sekolah yang dapat menyebabkan kecemburuan social. Guru-guru yang sudah menyandang status “ professional “ pun tidak jauh berbeda kualitasnya dengan guru honorer dalam hal mendidik dan mengajar. Oleh sebab itu, sebagai guru “ professional “ diharapkan untuk dapat selalu dan selalu meningkatkan profesionalitasnya agar pendidikan di Indonesia akan jauh lebih maju.
Melihat keadaan dan kondisi di lapangan, tingkat kesejahteraan teman-teman guru honorer masih rendah dalam hal  “ honor “ / “ gaji “ yang mereka dapatkan dari sekolah. Hal itu karena disesuaikan dengan kemampuan keuangan sekolah, apalagi bagi sekolah yang memiliki jumlah siswa yang sedikit. Hal tersebut yang menjadikan salah satu dasar pemikiran penulis untuk menuangkan ide dan gagasan ini.
Sebagai guru kita dituntut untuk memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogic, kompetensi professional, kompetensi kepribadian dan kompetensi social. Dalam hal ini penulis akan menyoroti tentang kompetensi guru yang keempat yaitu kompetensi social. Sesuai dengan “ yel-yel “ PGRI ( Persatuan Guru Republik Indonesia ) yaitu “ HIDUP GURU, HIDUP PGRI, SOLIDARITAS YEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEESSSSSSSSSSSSSS”, guru semuanya sudah dapat mengatur kehidupannya masing-masing, organisasi PGRI sudah sangat solid, nah sekarang mari kita tingkatkan SOLIDARITAS kita sebagai guru. Mari kita lihat teman-teman guru honorer disekeliling kita, “ honor “ / “ gaji “ mereka masih sangat rendah dan masih sangat jauh di bawah kata UMR. Oleh sebab itu sebagai guru yang memiliki Kompetensi Sosial mari kita tingktkan Solidaritas kita bagi teman-teman Guru Honorer. Mari kita sisihkan sebagian kecil ( minimal 10 %, lebih banyak lebih baik ) TUNJANGAN PROFESI kita untuk kesejahteraan mereka, jika bukan kita siapa lagi. Jika mengandalkan pemerintah, entah kapan realisasinya. Banyak sekali hal yang mendasari saya selaku penulis untuk mengungkapkan hal ini :
1.             Tingkat kesejahteraan “ gaji / honor “ masih sangat rendah.
2.        Beban kerja / mengajar guru honorer sama dengan guru professional yaitu minimal 24 jam / minggu ( dari pantauan penulis , beban kerja honorer malah banyak yang lebih karena banyak sekali tugas tambahan yang dibebankan kepada guru honorer.
3.            Jika kita melihat beban kerja / beban mengajar per kelas, misal kelas 6, yaitu 38 jam perminggu, dari keseluruhan beban tersebut sangat jarang yang di kerjakan atau dilaksanakan oleh guru PNS/ Guru Profesional. Rata –rata guru professional mengajar 24-28 jam per minggu. Masih ada 10 jam atau sekitar 26 % beban kerja yang dikerjakan oleh guru honorer. Jadi kalau kita sisihkan 10 % dari tunjangan profesi kita masih kurang, tapi lebih baik kurang dari pada TIDAK.
4.      Dengan gaji 26 kali / bulan, padahal kita hanya berangkat 12 kali  / bulan dalam setahun.
5.   INGAT , TUNJANGAN PROFESI ADALAH TUNJANGAN KINERJA, KALAU KINERJA KITA MASIH STAGNA, YA APALAH GUNANAYA TUNJANGAN ITU

Mungkin itu sedikit alas an yang menjadikan dasar saya menuliskan artikel ini. Mari kita bersama-sama menjaga guru honorer agar tetap semangat dalam bekerja, terutama dalam hal mendidik dan mengajar. Sehingga pendidikan di Indonesia akan lebih maju. Semoga ha ini dapat terealisasi, sehingga kasta-kasta di lingkungan dunia pendidikan akan sedikit terkikis. #Save_Guru_Honorer. ( Nur Salam / dr berbagai sumber ).

Label: , , , , , , , , ,

2 Komentar:

Pada 2 Mei 2016 pukul 22.21 , Blogger Unknown mengatakan...

Indahnya berbagi dengan sesamaa

 
Pada 2 Mei 2016 pukul 22.53 , Blogger Nur Salam mengatakan...

Ya betul kang mas Joko Boyo, dengan berbagai semua akan menjadi indah...... se indah alam yang dianugrahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada kita

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda