Selasa, 19 April 2016

GURU, " DIGUGU LAN DITIRU "

Dalam filosofi bangsa Jawa, guru merupakan salah satu kata yang memiliki makna “digugu dan ditiru”. maksud dari kedua kata ini adalah bahwa siapapun yang menjadi seorang  guru, berarti harus bisa memenuhi 2 kata tersebut, yakni digugu dan ditiru. Makna digugu adalah seorang guru memang harus bisa digugu alias perkataannya harus bisa dijadikan panutan. Oleh karena itu, guru harus punya kewibawaan dan juga wawasan yang cukup tinggi, karena apapun yang diucapkannya akan dianggap benar oleh murid muridnya. Yang kedua, seorang guru harus bisa ditiru. Baik apa yang diucapkannya (pengetahuannya), semangatnya serta budi pekertinya. Jadi jika Anda hanya bisa mengajar tanpa memberi pelajaran budi pekerti serta akhlakul karimah. Saya rasa Anda belum bisa mencap diri anda sebagai seorang guru yang benar-benar bisa “ digugu lan ditiru “.

Tidaklah mudah memang menjadi seorang guru yang ideal dan professional. Berdasarkan UU No 14 tahun 2005 pasal 20, maka guru berkewajiban untuk: a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu atau latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,hukum dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Dibutuhkan komitmen, konsistensi dan ketahanan mental yang betul-betul menjadi motif terpenting untuk menjadi seorang guru, mengingat tugas dan kewajibannya yang luar biasa bobot kerjanyanya.  
Kita sadar sepenuhnya, bahwa saat ini, gurulah satu-satunya agen perubahan yang memiliki tugas  baik secara institusional maupun non-institusional. Gurulah yang setiap hari mengajarkan norma, moral, etika, pembiasaan karakter positif serta warisan budaya yang lintas generasi. Kita sangat sadar sepenuhnya, bahwa sendi-sendi yang menopang sebuah bangsa diantaranya adalah berupa karakter  dan mentalitas rakyatnya, hal tersebut menjadi pondasi yang kukuh dari tata nilai bangsa tersebut. Keruntuhan sebuah bangsa ditandai dengan semakin lunturnya tata nilai dan karakter bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa tersebut masih berdiri tegak. Karakter dan mentalitas rakyat yang kukuh dari suatu bangsa tidak terbentuk secara alami, melainkan melalui interaksi sosial yang dinamis dan serangkaian program pembangunan yang diarahkan oleh pemimpin bangsa tersebut (Sauri, 2010).  Dalam konteks inilah maka komitmen guru untuk melakukan perubahan yang cepat atau revolusi mental sangat penting.
Menurut Nias (1981, 1989) komitmen gurulah yang membedakan guru yang peduli, berdedikasi, dan melaksanakan pekerjaannya dengan serius dibandingkan dengan mereka yang menjadi guru sebatas karena ketertarikan dan tidak memahami filosofi menjadi seorang guru. Lebih teoritisnya Coladrci (1992) mendefinisikan komitmen mengajar (commitment to teaching) sebagai teacher's psychological attachment to the teaching profession. Tegasnya, pelibatan diri secara psikologis dalam profesi mengajar. Guru tidak hanya mengajar atau mendidik di sekolah saja, tetapi di luar sekolah juga mereka aktif dalam kegiatan edukasi sosial secara informal di masyarakatnya. Ketika guru tidak komitmen dalam profesi mengajarnya, maka mereka akan meninggalkan pekerjaannya lebih awal. Kalaupun tidak meninggalkan profesi guru, maka profesi guru hanya akan dijadikan profesi alternatif, bukan yang utama. Padahal sejatinya berprofesi sebagai guru harus betul-betul all out dan tidak bisa setengah-setengah.  Terlepas dari besar kecilnya kesejahteraan yang didapat. Inilah yang membedakan profesi guru dengan profesi lainnya, karena menjadi guru lahir dari sebuah niat yang didasari panggilan jiwa akan kemanusiaan (call for humanities), bukan karena motif utamanya materi atau kekayaan (wealth). Itulah mengapa guru sebagai pekerjaan profesional  berdasarkan  UU No. 14 tahun 2005 bab III pasal 7 menjelaskan bahwa guru harus  memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme.



“ Mari kita menjadi guru yang cerdas agar bisa digugu lan ditiru ”

Label: , , , , , ,

1 Komentar:

Pada 30 Maret 2020 pukul 05.11 , Blogger Unknown mengatakan...

Mantap pak de

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda