Komitmen Guru dan Revolusi Mental
Salah satu jargon yang cukup
popular ketika masa kampanye Jokowi – JK adalah “revolusi mental.” Jargon tersebut kini dijadikan tagline pada Tema Hari Guru Nasional yang diperingati tanggal 25 November Tahun 2014 dan HUT PGRI ke-69 yaitu “Mewujudkan Revolusi Mental Melalui Penguatan
Peran Strategis Guru.“ Persepsi kita
ketika mendengar kata “revolusi “ langsung berkonotasi kepada sebuah keadaan
radikal, cepat, kontras, dan kritis. Menurut penulis, pernyataan jargon
“revolusi mental” mengindikasikan sebuah kondisi parah yang harus sudah
diperbaiki secara cepat, tuntas dan bersifat permanen. Revolusi mental
merupakan konsep peningkatan kualitas manusia untuk memajukan Republik
Indonesia. Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu, membangunan
Indonesia tidak mungkin maju, tanpa melakukan perombakan sumber daya manusia.
Sehingga, sehebat apapun kelembagaan yang diciptakan, selama lembaga tersebut
ditangan oleh manusia yang salah kaprah maka tidak mungkin maju. Untuk itulah,
peningkatan kualitas manusia sangat diperlukan untuk mengubah arah bangsa ini.
Selanjutnya, bagaimana peran strategis guru dalam melakukan revolusi mental
tersebut?
Peran Strategis Guru
Kita sangat mafhum bahwa guru
memiliki peran strategis untuk menjadi bagian penting dalam upaya membangun
karakter bangsa. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui peran serta guru secara
optimal dalam proses penyiapan peserta didik yang memiliki karakter sebagaimana
disebutkan dalam UU No 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan
nasional. Karakter dan mentalitas sumberdaya manusia suatu bangsa akan menjadi
pondasi dari tata nilai bangsa tersebut. Dalam tataran operasional, upaya-upaya
nyata dalam membentuk dan memelihara karakter dan mentalitas tersebut bisa
dilakukan oleh sosok guru professional, bukan guru yang asal-asalan.
Tidaklah mudah memang menjadi
seorang guru yang ideal dan professional. Berdasarkan UU No 14 tahun 2005 pasal
20, maka guru berkewajiban untuk: a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan
proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil
pembelajaran, b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan
kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu atau
latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam
pembelajaran d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,hukum dan kode
etik guru serta nilai-nilai agama dan etika e. Memelihara dan memupuk persatuan
dan kesatuan bangsa. Dibutuhkan komitmen, konsistensi dan ketahanan mental yang
betul-betul menjadi motif terpenting untuk menjadi seorang guru, mengingat
tugas dan kewajibannya yang luar biasa bobot kerjanyanya.
Kita sadar sepenuhnya, bahwa saat
ini, gurulah satu-satunya agen perubahan yang memiliki tugas baik secara institusional maupun
non-institusional. Gurulah yang setiap hari mengajarkan norma, moral, etika,
pembiasaan karakter positif serta warisan budaya yang lintas generasi. Kita
sangat sadar sepenuhnya, bahwa sendi-sendi yang menopang sebuah bangsa diantaranya
adalah berupa karakter dan mentalitas
rakyatnya, hal tersebut menjadi pondasi yang kukuh dari tata nilai bangsa
tersebut. Keruntuhan sebuah bangsa ditandai dengan semakin lunturnya tata nilai
dan karakter bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa tersebut masih
berdiri tegak. Karakter dan mentalitas rakyat yang kukuh dari suatu bangsa
tidak terbentuk secara alami, melainkan melalui interaksi sosial yang dinamis
dan serangkaian program pembangunan yang diarahkan oleh pemimpin bangsa
tersebut (Sauri, 2010). Dalam konteks
inilah maka komitmen guru untuk melakukan perubahan yang cepat atau revolusi
mental sangat penting.
Menurut
Nias (1981, 1989) komitmen gurulah yang membedakan guru yang peduli,
berdedikasi, dan melaksanakan pekerjaannya dengan serius dibandingkan dengan
mereka yang menjadi guru sebatas karena ketertarikan dan tidak memahami
filosofi menjadi seorang guru. Lebih teoritisnya Coladrci (1992) mendefinisikan
komitmen mengajar (commitment to teaching) sebagai teacher's psychological attachment to the teaching profession.
Tegasnya, pelibatan diri secara psikologis dalam profesi mengajar. Guru tidak
hanya mengajar atau mendidik di sekolah saja, tetapi di luar sekolah juga
mereka aktif dalam kegiatan edukasi sosial secara informal di masyarakatnya.
Ketika guru tidak komitmen dalam profesi mengajarnya, maka mereka akan
meninggalkan pekerjaannya lebih awal. Kalaupun tidak meninggalkan profesi guru,
maka profesi guru hanya akan dijadikan profesi alternatif, bukan yang utama.
Padahal sejatinya berprofesi sebagai guru harus betul-betul all out dan tidak bisa
setengah-setengah. Terlepas dari besar
kecilnya kesejahteraan yang didapat. Inilah yang membedakan profesi guru dengan
profesi lainnya, karena menjadi guru lahir dari sebuah niat yang didasari
panggilan jiwa akan kemanusiaan (call for
humanities), bukan karena motif utamanya materi atau kekayaan (wealth). Itulah mengapa guru sebagai
pekerjaan profesional berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 bab III pasal 7 menjelaskan
bahwa guru harus memiliki bakat, minat,
panggilan jiwa dan idealisme.
Komitmen dan Revolusi Mental
Dua frase
tersebut sangat berkaitan erat. Guru yang memiliki komitmen kuat akan mendidik
dengan sepenuh hati dan revolusioner. Mereka sadar akan tugasnya, bahwa profesi
guru tidak bisa digantikan oleh para pekerja profesi yang lain, karena mengajar
dan mendidik itu adalah sebuah seni yang harus mampu memahami seluk beluk siswa
seutuhnya baik secara psikologis dan antroplogis sosial. Kita sepakat dengan
Mendikbud yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan interaksi antar manusia,
yaitu antara pendidik dan peserta didik. Wajah masa depan Republik Indonesia berada di
kelas-kelas. Karakter-karakter manusia Indonesia dibangun dan diciptakan di
kelas-kelas yang ada di seluruh Indonesia. Guru yang melakukan malpraktek dalam mengajar, maka
akibatnya akan terus dirasakan dari generasi ke generasi. Ketika kebohongan
massal, berdusta, mencontek, tawuran, bullying,
perilaku seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan penyimpangan lainnya sudah
sedemikian massif di lembaga sekolah, maka sulit rasanya untuk berharap kepada
terciptanya sebuah generasi yang cerdas secara otak, tangan dan hati. Melihat
rasio guru dan murid dengan kondisi 3,1 juta guru yang harus mengajar sekitar 53 jutaan peserta didik, maka
tidak ada hal lain yang mampu menghadapinya kecuali dengan komitmen. Komitmen
guru yang kuatlah yang akan mampu mengawal terdepan dalam manifestasi revolusi
mental bangsa ini yang secara kognitif tidak sedikit orang-orang pintar dan
cerdas secara keilmuan, namun harus berakhir di penjara, mungkin karena faktor
tindakan korupsi atau mengkonsumsi narkoba. Selamat Hari Guru, mantapkan
komitmen dan lakukan revolusi mental yang positif!
Oleh
: Rudi Haryono,S.S., M.Pd
Dosen
Tetap dan Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris
STKIP
Muhammadiyah Bogor
http://www.academia.edu/9531717/Komitmen_Guru_dan_Revolusi_Mental
Label: 2045, Emas, guru, indonesia, komitmen, mental, Profesionl, revolusi, revolusi mental
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda