Minggu, 17 April 2016

Komitmen Guru dan Revolusi Mental

Salah satu jargon  yang cukup popular ketika masa kampanye Jokowi – JK adalah “revolusi mental.” Jargon  tersebut kini dijadikan tagline pada Tema Hari Guru Nasional  yang diperingati tanggal 25 November Tahun  2014 dan HUT PGRI ke-69  yaitu “Mewujudkan Revolusi Mental Melalui Penguatan Peran Strategis Guru.“  Persepsi kita ketika mendengar kata “revolusi “ langsung berkonotasi kepada sebuah keadaan radikal, cepat, kontras, dan kritis. Menurut penulis, pernyataan jargon “revolusi mental” mengindikasikan sebuah kondisi parah yang harus sudah diperbaiki secara cepat, tuntas dan bersifat permanen. Revolusi mental merupakan konsep peningkatan kualitas manusia untuk memajukan Republik Indonesia. Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu, membangunan Indonesia tidak mungkin maju, tanpa melakukan perombakan sumber daya manusia. Sehingga, sehebat apapun kelembagaan yang diciptakan, selama lembaga tersebut ditangan oleh manusia yang salah kaprah maka tidak mungkin maju. Untuk itulah, peningkatan kualitas manusia sangat diperlukan untuk mengubah arah bangsa ini. Selanjutnya, bagaimana peran strategis guru dalam melakukan revolusi mental tersebut?

Peran Strategis Guru
Kita sangat mafhum bahwa guru memiliki peran strategis untuk menjadi bagian penting dalam upaya membangun karakter bangsa. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui peran serta guru secara optimal dalam proses penyiapan peserta didik yang memiliki karakter sebagaimana disebutkan dalam UU No 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Karakter dan mentalitas sumberdaya manusia suatu bangsa akan menjadi pondasi dari tata nilai bangsa tersebut. Dalam tataran operasional, upaya-upaya nyata dalam membentuk dan memelihara karakter dan mentalitas tersebut bisa dilakukan oleh sosok guru professional, bukan guru yang asal-asalan.
Tidaklah mudah memang menjadi seorang guru yang ideal dan professional. Berdasarkan UU No 14 tahun 2005 pasal 20, maka guru berkewajiban untuk: a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu atau latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,hukum dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Dibutuhkan komitmen, konsistensi dan ketahanan mental yang betul-betul menjadi motif terpenting untuk menjadi seorang guru, mengingat tugas dan kewajibannya yang luar biasa bobot kerjanyanya.  

Kita sadar sepenuhnya, bahwa saat ini, gurulah satu-satunya agen perubahan yang memiliki tugas  baik secara institusional maupun non-institusional. Gurulah yang setiap hari mengajarkan norma, moral, etika, pembiasaan karakter positif serta warisan budaya yang lintas generasi. Kita sangat sadar sepenuhnya, bahwa sendi-sendi yang menopang sebuah bangsa diantaranya adalah berupa karakter  dan mentalitas rakyatnya, hal tersebut menjadi pondasi yang kukuh dari tata nilai bangsa tersebut. Keruntuhan sebuah bangsa ditandai dengan semakin lunturnya tata nilai dan karakter bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa tersebut masih berdiri tegak. Karakter dan mentalitas rakyat yang kukuh dari suatu bangsa tidak terbentuk secara alami, melainkan melalui interaksi sosial yang dinamis dan serangkaian program pembangunan yang diarahkan oleh pemimpin bangsa tersebut (Sauri, 2010).  Dalam konteks inilah maka komitmen guru untuk melakukan perubahan yang cepat atau revolusi mental sangat penting.

Menurut Nias (1981, 1989) komitmen gurulah yang membedakan guru yang peduli, berdedikasi, dan melaksanakan pekerjaannya dengan serius dibandingkan dengan mereka yang menjadi guru sebatas karena ketertarikan dan tidak memahami filosofi menjadi seorang guru. Lebih teoritisnya Coladrci (1992) mendefinisikan komitmen mengajar (commitment to teaching) sebagai teacher's psychological attachment to the teaching profession. Tegasnya, pelibatan diri secara psikologis dalam profesi mengajar. Guru tidak hanya mengajar atau mendidik di sekolah saja, tetapi di luar sekolah juga mereka aktif dalam kegiatan edukasi sosial secara informal di masyarakatnya. Ketika guru tidak komitmen dalam profesi mengajarnya, maka mereka akan meninggalkan pekerjaannya lebih awal. Kalaupun tidak meninggalkan profesi guru, maka profesi guru hanya akan dijadikan profesi alternatif, bukan yang utama. Padahal sejatinya berprofesi sebagai guru harus betul-betul all out dan tidak bisa setengah-setengah.  Terlepas dari besar kecilnya kesejahteraan yang didapat. Inilah yang membedakan profesi guru dengan profesi lainnya, karena menjadi guru lahir dari sebuah niat yang didasari panggilan jiwa akan kemanusiaan (call for humanities), bukan karena motif utamanya materi atau kekayaan (wealth). Itulah mengapa guru sebagai pekerjaan profesional  berdasarkan  UU No. 14 tahun 2005 bab III pasal 7 menjelaskan bahwa guru harus  memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme.
Komitmen dan Revolusi Mental
Dua frase tersebut sangat berkaitan erat. Guru yang memiliki komitmen kuat akan mendidik dengan sepenuh hati dan revolusioner. Mereka sadar akan tugasnya, bahwa profesi guru tidak bisa digantikan oleh para pekerja profesi yang lain, karena mengajar dan mendidik itu adalah sebuah seni yang harus mampu memahami seluk beluk siswa seutuhnya baik secara psikologis dan antroplogis sosial. Kita sepakat dengan Mendikbud yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan interaksi antar manusia, yaitu antara pendidik dan peserta didik. Wajah  masa depan Republik Indonesia berada di kelas-kelas. Karakter-karakter manusia Indonesia dibangun dan diciptakan di kelas-kelas yang ada di seluruh Indonesia. Guru yang melakukan malpraktek dalam mengajar, maka akibatnya akan terus dirasakan dari generasi ke generasi. Ketika kebohongan massal, berdusta, mencontek, tawuran, bullying, perilaku seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan penyimpangan lainnya sudah sedemikian massif di lembaga sekolah, maka sulit rasanya untuk berharap kepada terciptanya sebuah generasi yang cerdas secara otak, tangan dan hati. Melihat rasio guru dan murid dengan kondisi 3,1 juta guru yang harus  mengajar sekitar 53 jutaan peserta didik, maka tidak ada hal lain yang mampu menghadapinya kecuali dengan komitmen. Komitmen guru yang kuatlah yang akan mampu mengawal terdepan dalam manifestasi revolusi mental bangsa ini yang secara kognitif tidak sedikit orang-orang pintar dan cerdas secara keilmuan, namun harus berakhir di penjara, mungkin karena faktor tindakan korupsi atau mengkonsumsi narkoba. Selamat Hari Guru, mantapkan komitmen dan lakukan revolusi mental yang positif!
Oleh : Rudi Haryono,S.S., M.Pd
Dosen Tetap dan Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris

STKIP Muhammadiyah Bogor
http://www.academia.edu/9531717/Komitmen_Guru_dan_Revolusi_Mental

Label: , , , , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda